SAYA HIDUP UNTUK BERKARYA SENI Oleh : Rahmiko Setyo Utomo Dari rumah kecil berwarna ungu violet, isi rumah Arum Sari bagai kap...

SAYA HIDUP UNTUK BERKARYA SENI


SAYA HIDUP UNTUK BERKARYA SENI

Oleh : Rahmiko Setyo Utomo

Dari rumah kecil berwarna ungu violet, isi rumah Arum Sari bagai kapal pecah, namun  indah untuk dilihat. Piala berdiri kokoh disetiap sudut rumah, sertifikat berhamburan dan tertempel memenuhi dinding, lantai dan lemari. Lebih dari setengah hidupnya ia dedikasikan untuk membuat karya seni.

Di rumah ungu kecil bernomor pagar 20 itu, Sri Rumsari Listyorini atau akrab dipanggil Arum Sari tinggal bersama anak dan asisten rumah tangganya setelah ditinggalkan suaminya untuk selamanya. Di iringi sinar matahari panas yang menyorot ke rumahnya beliau bercerita akan kecintaanya terhadap seni dan perjalanan hidupnya untuk seni. Lulus dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 1987 dengan mengambil konsentrasi komposisi tari. Namun seiring berjalannya waktu beliau secara inisiatif mengembangkan lagi seni yang telah dipelajari kearah yang modern.
Arum Sari dan beberapa penghargaannya
Lebih dari setengah hidupnya sudah didedikasikan untuk membuat karya seni. Selepas kelulusannya dari bangku kuliah beliau berinisiatif untuk membuka sanggar tari yang hingga saat ini sudah ada di beberapa wilayah seperti di Yogyakarta, Wonosobo, Banjarnegara, Purwokerto dan juga Magelang. Sanggar tersebut awalnya hanya untuk tari tradiisional saja, namun karena banyaknya permintaan dari anak-anak murid yang meminta untuk membuka kelas dance atau tari modern maka dibukalah kelas tari modern tersebut. Walaupun namanya tari modern tapi di setiap penampilan tetap disisipi tarian yang berbau tradisional.  Selain itu, ia juga membuka kelas untuk tata rias, busana dan juga model yang secara basicly sudah dipelajari saat di bangku perkuliahan.
Beliau juga bercerita, ia sangat bersyukur karena berkat seni tari ia memiliki pengalaman yang sangat luar biasa banyaknya dan tak akan pernah terlupakan. Berkat seni tari ia bisa berkeliling hampir ke seluruh Indonesia untuk pementasan hanya saja belum pernah ke Aceh dan juga Papua. Selain itu dengan menari, pada tahun 1995 beliau bisa menginjakan kaki ke luar negeri tepatnya di Negara Jerman selama satu bulan dalam rangka misi kesenian Pemerintah Daerah Jawa Tengah dan  beliau berkesempatan untuk berkeliling di beberapa kota besar disana. Saat masih di bangku kuliah juga beliau berkesempatan untuk menunjukkan bakat tarinya di Istana Merdeka Jakarta yang disaksikan langsung oleh presiden dan juga pejabat-pejabat penting lainnya.
Untuk penghargaan tak perlu diragukan lagi, ratusan piala dan sertifikat serta penghargaan lainnya sudah didapatkan. Di kediamnnya, ketika pertama kali pintu rumah dibuka maka pemandangan pertama yang akan terlihat adalah banyaknya barang-barang yang berserakan dan memenuhi sudut rumah seperti rumah yang baru terkena gempa bumi. Dinding rumah sudah hampir tak terlihat karena dipenuhi dengan setifikat dan penghargaan yang dikemas dalam frame foto dengan berbagai ukuran. Belum lagi tumpukkan sertifikat di beberapa sudut rumah yang terlihat seperti tumpukkan kertas hasil fotokopi yang siap dijual di tukang loakan kapan saja. Tak kalah menarik perhatian saat memasuki rumah beliau adalah beberapa lemari kaca yang berisi piala-piala yang sangat banyak. Terdapat juga beberapa piala yang super besar yang tingginya tiga seperempat dengan atap rumah beliau. Namun dari banyaknya penghargaan yang beliau dapatkan, hanya ada beberapa yang membuatnya berasa sangat berkesan seperti penghargaan sebagai penari terbaik Jawa Tengah, penghargaan dari Ramayana Prambanan, penghargaan dari Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah serta penghargaan yang paling berkesan adalah langsung dari Menteri Pariwisata sebagai pelestari budaya.
Saya Hidup Untuk Berkarya
Saat ditanyai apa moto hidup dari seorang Arum Sari, beliau dengan santainya menjawab, “Saya mah hidup mengalir seperti air saja mas, maksudnya mungkin karena dari kecil sudah ada darah seni dari mbah saya jadi sampai sekarang ini saya ingin hidup untuk berkarya seni, ingin terus berkarya dan bagaimana cara saya melestarikan seni budaya dengan caraku sendiri. Yang penting jangan pernah lelah buat belajar”. Selain itu juga ia bercerita kalau dalam berseni harus ada yang dikorbankan, dan ia merasa menjadi korban untuk anak-anak disanggar yang telah ia dirikan. Kebahagiaan dapat beliau rasakan ketika karya seninya diapresiasi oleh orang lain atau saat melihat anak didiknya sanggarnya tampil membawakan karya seni yang telah ia buat maka rasa lelah saat membut karya tersebut dapat terbayarkan. Terakhir beliau juga menambahkan sudah membuat karya seni tari yang penampilanya hanya satu tahun sekali di Magelang ini. Tarian itu diantaranya Tari Gethuk, Tari Bedoyo dan juga Tari Mantyasih yang biasanya dibawakan pada rangkaian momen ulang tahun Kota Magelang.



0 komentar: